Proses bicara A1 adalah momen roller coaster yang pernah saya alami. Sebagai ibu baru saya merasa sangat pusing ketika A1 belum mengeluarkan kata-kata sebanyak teman sebayanya dan juga hampir menuju red flags perkembangan bahasa. Di umur sekitar 18 bulan, A1 lebih sering mengungkapkan keinginannya dengan menunjuk suatu benda dan bergumam, “Hmm”. Nadanya tergantung apa yang diinginkan. Kalau dia ingin bertanya maka nadanya meningkat seperti, “Hmm?” dan kalau dia menyatakan sesuatu maka nadanya datar menjadi, “Hmm.” Sering kali saya menggunakan insting saja, ini A1 maunya apa ya dan menebak-nebak apa maksudnya. Kata-kata bermakna yang diucapkan belum sampai 10 kata.
Karena sangat khawatir dengan perkembangan bahasanya, saya memutuskan untuk konsultasi online ke salah satu psikolog anak di Indonesia ketika A1 berumur 20 bulan. Saya memilih psikolog di Indonesia dengan alasan kenyamanan, mengingat saya masih terbatas untuk komunikasi aktif bahasa Jerman. Takutnya bukannya dapat solusi, eh saya yang stres karena tidak saling mengerti antara saya dan psikolog anak karena keterbatasan bahasa. Alasan yang sama, kenapa nggak pilih psikolog berbahasa Inggris. Sejak tinggal di Jerman, bahasa Inggris saya menurun sangat drastis, malah saya sangat terbata-bata ngomong bahasa Inggris. Jadi bahasa Jerman nggak dapet, bahasa Inggris hilang. Alhamdulillaah ‘alaa kulli hal.
Psikolog anak yang saya pilih adalah psikolog anak yang berafiliasi dengan Support Group yang saya ikuti. Saat itu saya konsultasi via Zoom dan hanya saya saja yang diwawancarai. Seperti ke psikolog biasanya, saya diberikan beberapa assessment untuk diisi setelah itu barulah masuk ke tahap wawancara. Saya diberikan banyak sekali pertanyaan, yang bahkan saya baru tahu itu faktor yang bisa mempengaruhi kemampuan bicara. Beberapa pertanyaan yang saya dapat (dan ingat) seperti:
- Makanan apa saja yang disukai dan tidak disukai?
- Apakah A1 mau gosok gigi?
- Bagaimana jam tidur A1, apakah teratur?
- Apa saja aktivitas sehari-hari di rumah?
- Bahasa apa saja yang digunakan ayah dan ibu di rumah?
- Apakah ada screen time? Berapa lama biasanya? Apa yang ditonton?
- Apakah ada tekstur benda yang tidak disukai?
- Apakah masih menyusu? Bagaimana makannya, apakah teratur?
- Apakah A1 dapat memahami dan mengerjakan perintah?
- Dan masih banyak lagi tapi sayangnya yang saya ingat beberapa poin ini saja, qadarullaah.
Dari berbagai pertanyaan yang diajukan ini, psikolog mengambil kesimpulan bahwa… A1 seharusnya perkembangan bahasanya optimal sesuai usianya. Makin bingung dong saya, terus apa yang salah dengan A1? Lalu setelah banyak bercerita, akhirnya psikolog menemukan indikasi mengapa A1 belum mau berbicara. Masalahnya bukan ada di A1, tetapi ada di… saya. Sebenarnya bukan masalah sih, lebih tepatnya sebuah takdir yang tidak bisa saya hindari namun qadarullaah jadi ujian bagi saya sehingga mempengaruhi perkembangan A1.
Intinya adalah A1 belum nyaman dengan dirinya karena kurangnya attachment saya terhadap dia sejak di dalam kandungan. Kurangnya attachment ini membuat A1 nggak percaya diri untuk eksplorasi hal-hal baru, termasuk bicara. Dari sini saya merasa tercerahkan terhadap kekhawatiran saya berbulan-bulan lalu.
Di umur 8 bulan, A1 belum bisa tengkurap mandiri, apalagi duduk mandiri. Ini udah red flags banget sebenarnya hingga akhirnya saat itu ketika saya pulang ke Indonesia, saya langsung memeriksakannya ke dokter tumbuh kembang. Hasil pemeriksaannya katanya baik-baik saja, hanya perlu sabar dan stimulasi terus. Baiklah saat itu saya sedikit lebih tenang.
Lalu maa syaa Allah, saat kami kembali ke Jerman di umur A1 9 bulan, A1 langsung rapel kemampuan motoriknya yang tertunda. Tiba-tiba bisa tengkurap dan terlentang sendiri tanpa bantuan, lanjut ke merayap, lanjut lagi ke merangkak, hingga rambatan, berdiri, dan tepat di umurnya yang ke-13 bulan, A1 resmi bisa melangkahkan kaki dan berjalan lalu berlari. Secepat itu maa syaa Allah, saya nggak nyangka.
Dari pengalaman itu, saya menarik kesimpulan, apakah kemampuan bahasa A1 akan sama seperti motorik kasarnya itu? Apakah dia akan rapel kemampuannya di waktu yang tepat saat dia sudah merasa percaya diri dengan kemampuan dan lingkungannya? Oh iya, saat itu A1 juga terlihat tidak bisa mengungkapkan emosinya secara tepat. A1 baru bisa menangis kalau sudah marah atau sedih banget. Kalau jatuh atau misal sakit gitu, A1 diam seperti menahan emosi dan nggak mau mengeluarkan. Akhirnya psikolog memberikan saran untuk sering bermain dan mengenalkan macam-macam emosi pada A1, sering curhat ke A1 tentang hari-hari saya, lebih ekspresif dalam berbicara, juga memperbanyak intensitas bermain dengannya.
Atas dasar itu saya mendaftarkan diri ke program co-teaching online yang diadakan oleh Mama Guru sebulan setelah konsultasi. Dalam program ini, seorang fasilitator akan melihat bagaimana cara saya dan A1 bermain bersama juga berinteraksi satu sama lain. Ibaratnya seperti CCTV yang memantau dan nanti akan diberikan evaluasi yang saya perbaiki untuk ke depannya. Saat itu saya mendaftar program co-teaching sekali seminggu dalam rentang waktu 3 bulan.
Di hari pertama ternyata saya baru tahu kalau saya sangat sangat sangat dingin saat berinteraksi dengan A1. Kayak patung es lah istilahnya. Hahaha. Baru tahu saya, saya kira saya baik-baik saja selama ini dengan A1. Akhirnya seperti PR yang diberikan psikolog, saya diberikan PR oleh fasilitator ini untuk lebih ekspresif dan deskriptif ketika A1 bermain. Saya disuruh mendeskripsikan apa yang dilakukan A1, seperti, “Wah, kamu lagi menuang air ke gelas ya. Airnya dingin ya ternyata, ada suara krucuk-krucuk ya saat dituang. Eh jadi terisi deh gelasnya.” Percayalah, hal seremeh itu ternyata saya harus diajari dulu karena memang saya sangat seperti es batu.
Selama 3 bulan program co-teaching, sering ngomongin emosi dengan A1, dan memperbaiki cara interaksi saya, biidznillaah A1 terlihat perkembangan bahasa dan ekspresi wajahnya. Yang awalnya dia diam saja dan dingin, sekarang lebih ekspresif. Sudah tahu kalau senang ya tersenyum, kalau sedih ya cemberut, kalau marah bisa merah mukanya. Untuk jumlah katanya alhamdulillaah ngepas dengan standar, yaitu 10 kata berarti. Pencapaian besar menurut saya.
Ternyata benar, perkembangan bahasa A1 persis sama seperti motorik kasarnya dulu. Alhamdulillaah di umur 25 bulan, ternyata terjadi ledakan bahasa dan rapel semua kemampuan bahasa. Tiba-tiba A1 mengeluarkan banyak sekali kosakata baru yang bermakna, lalu lanjut merangkai 2 kata, lanjut ke 3 kata, hingga 1 kalimat utuh bermakna yang kompleks. Terhitung di umur 33 bulan, A1 sudah bisa bertanya apa, di mana, siapa, juga sudah memakai selipan kata seperti dong, sih, yuk hingga yang medhok seperti tho, “Kenapa tho?” Haha karena saya sering sekali bilang seperti itu jadi A1 mengikuti saya juga.
Alhamdulillaah alladzii bini’matihi tatimmush shalihaat, saat pemeriksaan rutin tumbuh kembang bulanan yang saya lakukan mandiri, A1 sudah 95% mencapai kompetensi dasar yang harus dicapai. Hal ini merupakan sebuah pembelajaran berharga bagi saya, bahwa anak memang memiliki timeline berbeda, namun jangan sampai lengah jadi pasrah saja dengan apa yang ada. Jika dirasa perlu bantuan, langsung saja cus ke ahli profesional agar dibantu. Jangan sampai terlambat dan santai saja. Tidak harus terlihat sudah bermasalah baru konsultasi, karena semakin terlambat semakin membutuhkan usaha lebih untuk memperbaikinya. Tidak perlu takut untuk konsultasi, karena bisa jadi anak kita baik-baik saja kok, hanya saja ada beberapa pola asuh yang perlu diperbaiki untuk stimulasi lebih optimal.