Parenting, Perkembangan Anak, The Believer A1

Sleep Training, My Blessing in Disguise

Sumber: Unsplash

Sejak awal saya menyusui, posisi terfavorit saya adalah side lying, yaitu saya berbaring miring dengan bayi di samping saya. Hal ini memudahkan saya untuk istirahat, apalagi jika malam-malam bayi terbangun dan minta menyusu. Dalam keadaan ngantuk dan lelah, menyusui sambil berbaring rasanya nikmat sekali. Bayi bisa menyelesaikan pekerjaannya sedangkan saya bisa istirahat dengan tenang hingga pagi.

Namun ternyata ada resiko yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Sebenarnya bukan karena posisi menyusuinya yang salah, tapi karena ketidaktegasan saya saat menghentikan menyusui jika bayi sudah terlihat kenyang. Saya membiarkan anak saya tertidur sambil menyusu, sehingga dia terbiasa untuk ngempeng ketika tidur. Jika saya bergerak dan terlepas susuannya, A1 akan gelisah dan minta untuk menyusu lagi, padahal hanya untuk cari kenyamanan. Sedangkan sebaiknya jika seperti ini saya menenangkannya dengan cara lain, seperti pukpuk atau usap-usap. Karena terlalu lelah dan ingin istirahat, saya membiarkan A1 untuk ngempeng saja.

Sebulan, dua bulan, hingga 18 bulan lamanya saya melewati periode ini. Awalnya biasa saja karena merasa enak bisa tidur sambil nyusuin, hingga lama-lama saya stres berat karena A1 termasuk bayi yang sensitif terhadap suara dan gerakan. Jadi tiap saya bergerak bangun setelah menyusuinya, A1 langsung bangun dan menangis. Otomatis karena hal ini saya jarang punya waktu untuk sekedar ngobrol berdua dengan suami. Hidup saya rasanya hanya berputar pada menyusui, berbaring, menyusui, berbaring saja. Untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti makan, shalat, ke kamar mandi pun sangat sulit. Ini juga merupakan salah satu alasan tersembunyi, kenapa saya kesannya rajin ikut kelas online atau membuat DIY sesuatu untuk anak. Ya karena saya tidak bisa melakukan apapun di kasur selain ini. Alhamdulillaah ‘alaa kulli hal.

Di umur A1 yang menginjak 18 bulan, saya benar-benar nggak tahan. Saat itu entah kenapa qadarullaah A1 per jam sekali bangun hanya untuk ngempeng. Ngempeng lepas ngempeng lepas begitu terus tiap jam, dan ini sangat melelahkan. Padahal saya rasa dia nggak waktunya growth spurt. Saya bahkan tidak dapat tidur dengan tenang. Saya harus miring selama berjam-jam agar A1 bisa tidur. Karena kalau A1 nggak cukup tidur, otomatis di siang hari bakal cranky banget dan nggak mau makan. Rasanya kayak makan buah simalakama.

Akhirnya saya coba cari metode sleep training dari internet. Saking sudah pusingnya saya pilih cara yang diklaim cepat efeknya, yaitu metode Ferberizing. Sebenarnya ada cara yang katanya lebih cepat, yaitu Cry-It-Out tapi banyak yang nggak setuju karena bisa membuat anak cemas dan putus asa terhadap bantuan orang tua saat ia memerlukannya. CIO ini caranya dengan meninggalkan anak di kamar tanpa dijenguk sama sekali hingga pagi hari. Anak nangis teriak-teriak juga dibiarkan, yang penting pagi hari akan ketemu kembali. Tentu ini bisa beresiko stres baik dari anak maupun orang tua, karena secara fitrahnya orang tua mengasihani anak dan anak perlu rasa percaya pada orang tua sehingga akan timbul perasaan dunia ini aman. Selain itu ada metode lebih gentle seperti Fade-It-Out dan sebagainya, tapi memang semakin gentle metodenya waktu yang diperlukan semakin lama. Saat itu saya sudah di tahap nggak punya kesabaran lebih lagi, qadarullaah, jadi saya memilih Ferberizing.

Buku yang saya baca untuk referensi adalah Solve Your Child’s Problem oleh Dr. Richard Ferber. Di Goodreads sendiri ratingnya termasuk tinggi, jadi saya pikir banyak yang memakai metode ini dan berhasil. Saya juga sempat baca beberapa blog ibu yang membagikan pengalaman mereka menggunakan metode Ferberizing ini, dan hasilnya memuaskan. Anak nggak berubah jadi pencemas atau attachment ke orang tua masih terjaga, malah jadi lebih nyaman tidurnya karena bisa nyenyak. Wah saya tergiur banget dan akhirnya mantap coba metode ini setelah ketok palu dengan suami.

Persiapan yang kami lakukan adalah sounding ke tetangga apartemen untuk mohon maaf dan minta tolong pemaklumannya karena anak bisa tantrum malam hari. Bangunan apartemen saya saat itu dihuni oleh enam keluarga, mayoritas sudah lansia sehingga perlu adanya sounding agar bisa bersiap. Alhamdulillaah respon tetangga baik, bilang kalau itu nggak apa-apa, karena itu hal wajar untuk anak.

Lalu saya bilang juga ke A1 bahwa sekarang coba belajar tidur sendiri ya. Saat itu pilihan yang paling mungkin bagi kami adalah pisah kamar. Meskipun begitu, kamar A1 terletak di seberang kamar saya dan memiliki kaca di pintunya, sehingga saya bisa memonitor dia kapanpun. Pertimbangan pisah kamar ini benar-benar saya pikirkan, ini paling baik untuk saya, terutama kesehatan mental. Saat itu keadaan saya benar-benar sulit dan butuh bantuan. Saya juga merapikan kamarnya, membuat kamarnya nyaman seperti kondisi kamar saya. Merapikan buku-bukunya, meletakkan barang-barang miliknya, dengan harapan agar A1 nyaman dengan kamar dia sendiri.

Metode ini penerapannya hampir sama dengan CIO, bedanya adalah kita memiliki rentang waktu untuk selalu cek kondisi anak dan menenangkannya. Jadi tidak ditinggalkan sepenuhnya hingga pagi hari. Interval waktu untuk cek kondisi ini lama-lama akan semakin panjang, seperti di tabel berikut.

Dan ternyata nggak sesuai dengan yang dibayangkan. Saya tahu, proses ini bakal nggak mudah, tapi saya nggak nyangka bahwa A1 ternyata sangat terpukul dan tidak bisa melalui proses ini semudah anak-anak lain. Kalau pengalaman orang lain yang saya baca, setelah durasi beberapa lama anak akan paham bahwa orang tuanya tidak sepenuhnya meninggalkan dia, hanya saja saat ini memang waktunya tidur. Anak memang akan menangis meraung-raung, tapi dia akan lelah dan tertidur setelahnya. Sedangkan di A1… ternyata nggak sama sekali.

A1 benar-benar menangis heboh dan dia hanya berputar di pintu kamar tanpa adanya tanda-tanda dia lelah dan tertidur. Dia selalu menunggu saya untuk menemaninya, meskipun dia harus menangis hingga dua jam lamanya. Saat saya temani dan tenangkan, A1 bisa tidur, tapi setelah saya tinggal dia langsung bangun dan kembali lari-lari berputar di balik pintu dengan menangis keras sekali. Awalnya saya pikir mungkin hari pertama saja yang seperti ini, kenyataannya hingga hari kelima tetap nggak berkurang. Patah hati, tentu saja. Sudahlah coba direla-relain, ternyata anak nggak bisa untuk melakukannya. Akhirnya saya luluh dan bilang ke suami untuk mengakhirinya saja. Mungkin metode ini memang kurang cocok untuk A1. Hingga akhirnya saya campur metode ini dengan metode lebih smooth versi saya, yaitu duduk menemani A1 hingga tertidur pulas di sebelah kasurnya, setelah itu saya tinggal ke kamar dan tidak menutup pintu, lalu saat A1 terbangun saya langsung ke kamarnya untuk menemaninya kembali. Dan tentu saja ini akan berlangsung berkali-kali dalam semalam, jadi saya memang harus bolak-balik ke kamar A1 apalagi dulu masih ada sesi menyusui malam.

Capek ya, kelihatannya? Iya capek karena saya harus terbangun dan bolak-balik ke kamar A1. Tapi dalam capek tersebut ternyata ada manfaat besar yang saya rasakan. Untuk pertama kalinya selama 18 bulan, saya bisa tidur nyenyak di space kasur lebih besar. Saya bisa deep sleep selama empat jam sebelum A1 terbangun untuk ditenangkan atau disusui. Rasanya bisa istirahat itu maa syaa Allah, sangat membantu mental saya untuk kembali baik. Ditambah lagi saya punya waktu untuk ngobrol dengan suami dengan lebih tenang, karena selama ini kami selalu diam-diaman di kamar. Kalau ada suara dikit, A1 langsung terbangun.

Poin plus lagi saya bisa bangun awal waktu. Saya bisa belajar atau melakukan aktivitas lain di pagi hari, dan rasanya saya jadi lebih berguna. Dulu saya harus benar-benar ditempeli oleh A1 seharian secara fisik jadi sangat menguras emosi. Mungkin untuk sebagian orang ini tidak masalah, tapi di saya ternyata kesabaran saya nggak sebesar itu. Jadi saya mencari cara lain agar saya dan A1 sama-sama nyaman.

Selain itu dari sleep training tenyata ada hikmah besar yang saya dapatkan di kemudian hari. Saat proses menyapih seperti yang pernah saya ceritakan di post sebelumnya, lebih mudah karena A1 terbiasa untuk tidur sendiri tanpa nenen lebih dulu. Bonding A1 dengan saya fokus di pagi hingga siang hari, karena selain A1 menuntut perhatian yang nggak diberikan malam hari, saya juga lebih mindful saat bersamanya. Ada rasa saling membutuhkan juga sebenarnya meskipun dalam prosesnya sangat berat.

Pelajaran yang saya ambil dari sleep training ini adalah nggak semua metode yang benar (menurut ahli) itu baik untuk masing-masing orang. Ada yang cocok ada yang nggak tergantung latar belakang dan karakter masing-masing. Saya juga belajar mengenal dari sini bahwa A1 cenderung cemas, jadi treatment saya terhadapnya juga harus khusus. Sebisa mungkin jangan gegabah karena bisa-bisa membuat kecemasan A1 lebih meningkat.

Selain itu, ternyata nggak semua keluarga seperti saya. Mungkin ada yang merasa, saya tega banget dan nggak sabaran, padahal ya memang itulah “resiko” punya anak, memang harus begitu. Ternyata nggak lho. Kalau ada pola parenting yang salah satu saja antara orang tua dan anak itu nggak nyaman, berarti pola itu nggak cocok untuk keluarga tersebut. Semuanya harus sama-sama nyaman, dengan catatan tetap dalam koridor syari’at. Kalau sama-sama nyaman, parenting yang dijalani akan lebih mudah dan menyenangkan. Dari sini saya juga berpikir untuk jangan pernah judge keputusan orang tua atau anak dari keluarga lain. Saya nggak pernah tahu struggle apa yang mereka hadapi dan pertimbangan apa saja yang dipikirkan untuk melakukan hal tersebut. Baiknya sama-sama saling menghormati dan menghargai masing-masing orang tua. Jika mereka minta saran atau masukan dari kita, barulah kita sampaikan masukan tersebut dengan lemah lembut dan sopan.

Memang saya akui ada rasa penyesalan dan bersalah hingga saat ini kalau saya ingat gimana A1 nangis heboh saat ditinggal di kamarnya. Saya merasa jadi ibu terburuk di dunia. Saya merasa keputusan saya salah. Tapi ini juga jadi pelajaran saya untuk accepting, menerima bahwa saya bukan ibu sempurna dan nggak ada manusia yang sempurna. Saya bisa salah, saya bisa gagal, saya bisa sedih, dan itu nggak apa-apa. Yang perlu saya lakukan adalah memperbaikinya menjadi lebih baik agar nggak berlarut-larut dalam kesalahan dan juga memaafkan diri sendiri atas kesalahan yang saya perbuat. Semoga Allah Ta’ala mengampuni saya atas kesalahan dzalim yang saya perbuat.

One thought on “Sleep Training, My Blessing in Disguise”

  1. Ummu Zubair says:

    ❤️❤️❤️

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *