Proses toilet training A1 pernah saya mulai dari usia 20 bulan. Saat itu saya baru hangat-hangatnya membaca buku Oh Crap! Potty Training karya Jamie Glowacki. Menurut penulis, usia 20 bulan adalah rentang usia ideal untuk melakukan toilet training. Selain itu pertimbangan saya, A1 akan disapih dalam tiga bulan ke depan, bertepatan dengan usia dua tahun hijriyah. Saya pikir, sebelum disapih sepertinya akan lebih mudah toilet training dulu jadi bisa selesai satu per satu.
Ternyata nggak semudah yang dibayangkan, Saudara-saudara sekalian. A1 saat itu belum bisa komunikasi dengan lancar, jadi saya dituntut untuk sangat sabar. Saya memakai potty, yaitu sebuah ember kecil yang biasanya digunakan untuk anak belajar buang air, dan meletakkannya di dekat tempat dia beraktivitas. Jadi ke mana pun A1 pergi, saya membawa potty itu dan meletakkan di dekatnya. Harapannya adalah saat A1 terlihat ingin buang air, saya dengan mudah meletakkannya di atas potty tanpa membuang banyak waktu dan tenaga. Saya juga memakai metode di buku yaitu melepas pakaiannya agar orang tua tahu bagaimana reaksi anak ketika ingin buang air. Dibantu juga dengan sounding berulang-ulang, “Kalau mau pipis atau ee bilang ya“.
Selama tiga atau empat hari melakukannya, saya menyerah. A1 belum bisa mengutarakan keinginan buang air jadi saya harus mengepel di mana-mana. Saya juga belum ngeh tanda-tanda A1 mau buang air. Stres sekali rasanya apalagi A1 kelihatan belum paham kalau dia sudah nggak pakai diaper. Akhirnya saya menunda proses toilet training ini sampai saya dan anak siap.
Saya mulai lagi toilet training putaran kedua saat A1 berumur 27 bulan. Saat itu kami memang baru pindah rumah jadi saya menunggu A1 adaptasi dan nyaman tinggal di rumah baru. Alhamdulillaah saat itu A1 sudah mulai bisa komunikasi dan saya paham apa yang ia inginkan. A1 juga menunjukkan tanda-tanda nggak nyaman pakai diaper lagi. Jadi bismillaah saya coba untuk kedua kalinya.
Qadarullaah, saat memutuskan toilet training suami lagi ada tugas kerja di luar kota selama lima hari, jadi saya berdua saja dengan A1. Hari pertama saya terlalu idealis langsung dudukin A1 ke WC biasa. Sebelumnya saya sudah membeli dudukan toilet keluarga jadi ada dua jenis dudukan, yaitu untuk anak dan dewasa. Saya pikir, akan lebih mudah kalau A1 langsung ke toilet jadi saya nggak kerja dua kali, yaitu melatih A1 buang air di potty lalu baru ke WC. Ternyata nggak seindah itu, haha.
A1 panik dan takut saat didudukin ke toilet biasa. Karena bentuknya besar dan kakinya mau nggak mau harus menggantung. Memang sih, saya sudah menyiapkan tangga kecil agar kaki A1 bisa menapak, tapi ternyata kakinya belum sampai. Akhirnya balik deh ke cara konvensional, yaitu pakai potty.
Berbeda saat toilet training di umur 20 bulan, di putaran kedua ini saya taruh potty langsung di kamar mandi untuk mengajarkan kalau buang air ya di kamar mandi. Selain itu kalau misal ada kotoran tercecer, bisa lebih mudah saya membersihkannya. Potty saya letakkan di dekat pintu, jadi A1 mudah langsung ke sana tanpa harus jalan jauh. Tak lupa, sounding berkali-kali, “Kalau mau pipis atau ee bilang ya” sampai-sampai jadi self talk A1 di mana pun dan kapan pun dia berada. Hahaha. Selain itu saya masih menerapkan cara di buku Bu Glowacki, yaitu tidak memakaikan pakaian ke anak, hanya saja saya modifikasi yaitu A1 pakai pakaian atas panjang hingga atas lutut tapi tidak pakai celana. Sebelumnya saya izin kepadanya bahwa hal ini dilakukan karena mau belajar buang air, kalau sudah selesai akan pakai pakaian menutup aurat sempurna lagi.
Hari pertama, keberhasilan sekitar 25%. Yang saya amati karena A1 pernah melakukannya di umur 20 bulan, masih ada memori bahwa dia pernah belajar buang air di potty itu. Jadi alhamdulillaah lebih mudah. Hari kedua keberhasilan sekitar 50% dan hari ketiga sekitar 75%. Kesannya cepat ya, maa syaa Allah. Tapi tunggu dulu, ternyata ada drama yang menunggu setelah ini…
Di hari keenam, suami pulang ke rumah dari luar kota. Awalnya so far so good, eh ternyata jeng jeng jeng jeng… A1 langsung lupa toilet training-nya. Langsung deh buang air di mana-mana, nggak mau diajak ke potty. Baru sadar ternyata perubahan sekecil itu berpengaruh besar ya ke anak. Padahal suami juga membantu toilet training persis dengan cara saya. Tapi itulah, awalnya berdua saja di rumah tiba-tiba jadi bertiga langsung bubar jalan. Akhirnya mencoba legowo, mengulang proses lagi dari awal.
Minggu kedua, suami masih di rumah. Alhamdulillaah, A1 mulai ingat lagi kalau buang air harus di potty. Tak lupa saya sounding terus menerus. Tingkat keberhasilan minggu kedua ini sekitar 50%.
Menginjak minggu ketiga… Qadarullaah suami harus ke luar kota lagi. Lalu bagaimana progress A1? Yap, betul teman-teman. A1 balik lagi mundur progress toilet training-nya. Bahkan malah menolak tiap diajak buang air. Sudah menolak, eh beberapa saat kemudian dengan muka innocent buang air di tempat. Ya Allah Ya Rabbi… Sempat mau menyerah, sudah telepon suami sampai nangis-nangis, tapi rasanya sayang banget sudah berjalan sejauh ini. Mungkin memang harus bersabar sedikit lagi. Harus lihat dari sudut pandang anak lagi. Harus menurunkan ekspektasi lagi.
Di minggu ketiga, saya diberikan saran oleh teman untuk lepas diaper total, baik saat tidur maupun di perjalanan. No diaper diaper club, pokoknya. Kenapa? Agar A1 merasa diberikan kepercayaan terhadap kemampuannya untuk buang air sendiri tanpa bocor. Sebagai orang tua jangan sampai meremehkan kemampuan anak. Yakin saja, anak itu paham dan mampu. Baiklah, saya coba cara ini dengan bismillaah.
Tentu saja tidak semudah dan selancar itu, Bunda. A1 tentu mengompol di kasur saat awal-awal saya menerapkan cara ini. Tapi saya sudah menyiapkan semacam pelindung kasur anti air, kalau di Jerman namanya Matratzenschoner. Saya beli ini di IKEA dan menurut saya lebih nyaman daripada perlak atau sprei anti air, karena penggunaannya untuk melapisi kasur lalu ditumpuk dengan sprei biasa. Jadi untuk tidur masih nyaman banget. Jika basah tinggal cuci sprei dan pelindung kasur itu, tapi kasur masih aman sentosa.
Selain itu di minggu ini saya coba memperbaiki sounding saya ke A1. Saya beri deskripsi lebih detil untuk menggambarkan sensasi pipis dan pup itu seperti apa. Jadi saya bilang ke A1 seperti ini,
“Kalau ada air yang rasanya mau keluar dari penis ujung sini (sambil saya sentuh bagian tersebut), bilang mau pipis ya. Kalau sakit perut, ada yang mau keluar dari anus sini (sambil disentuh bagian anusnya), bilang mau ee ya.”
Oh iya, saya memang sengaja menyebutkan kelamin anak dengan bahasa umum sebagai bentuk pendidikan seksual usia dini. Jadi bukan vulgar ya. In syaa Allah sudah ada banyak ilmu terkait ini dari segi syariat, psikologi, maupun kesehatan.
Saya tidak berharap apapun di minggu ketiga ini. Apalagi di hari Jumat, suami pulang dari luar kota. Jadi saya pikir ada kemungkinan bakal berubah lagi progress-nya. Daripada berekspektasi macam-macam, mending menyiapkan hati saja, hehe.
Alhamdulillaah, ternyata saat suami pulang progress A1 tidak mundur lagi. Mungkin dia mulai belajar bahwa ayahnya bisa saja ada di rumah dan bisa saja di luar, tergantung kondisi. Dari sini saya jadi semangat untuk melanjutkan toilet training. Apalagi, suami sudah tidak ada tugas lagi ke luar kota selama beberapa waktu ke depan, jadi bisa dibantu untuk prosesnya.
Minggu-minggu setelahnya biidznillaah A1 mulai terlihat kemajuannya. A1 sudah bisa dan nyaman buang air di potty-nya. Yang berubah yaitu A1 menolak kalau ditawari buang air, A1 lebih suka bila ia yang inisiatif ke kamar mandi sendiri. Setelah dua minggu terlihat lebih lancar, saya tawarkan A1 untuk pakai celana luaran jadi belajar untuk melepas celana sebelum buang air. Lalu dua minggu selanjutnya, saya baru tawarkan A1 untuk pakai tambahan celana dalam sebelum celana luar. Alhamdulillaah, jadi proses toilet training A1 ini bisa dibilang kurang lebih dua bulan lamanya hingga ia lancar buang air, menahan pipis saat tidur siang dan malam, juga memakai pakaian lengkap. Setelah dua bulan ini baru saya ajak A1 untuk buang air di dudukan toilet biasa dan alhamdulillaah bisa. Ternyata A1 butuh rasa aman dan nyaman untuk buang air di suatu tempat dulu sebelum pindah ke toilet biasa.
Memang setelah dua bulan ini A1 masih ada waktu kebocoran kalau lagi banyak minum atau makan buah yang berair seperti melon dan semangka. Tapi bagi saya ini sudah berhasil, karena kebocoran tersebut masih dalam tahap wajar.
Yang perlu selalu diingat, proses toilet training setiap anak ini tentu berbeda satu sama lain. Perkembangan anak satu dengan anak yang lain juga tentu berbeda. Mungkin A1 terlihat siap belajar lepas diaper di bulan 27 bulan, tapi di anak lain ada yang lebih cepat maupun lebih lambat. Itu semua nggak apa-apa, asal tidak melebihi red flags yang telah ditetapkan. Yang kita perhatikan sebagai orang tua adalah bagaimana kemajuan anak hari ini dibandingkan kemarin dan melihat kelebihan anak. Ini juga merupakan PR terbesar saya.