Nurturing Believers, Perkembangan Anak, The Believer A2

Khitan A2

Sumber: Unsplash

Bismillahirrahmanirrahim.

Belajar dari pengalaman A1 yang khitan di usia 16 bulan, kami memutuskan khitan A2 di usia lebih muda, yaitu segera setelah lahir. Alasannya selain melihat proses pemulihan A1 yang relatif cepat, masih ada opsi menyusu untuk pengalihan rasa sakit. Gerakan bayi baru lahir juga masih terbatas, jadi mengurangi kengerian saya saat proses pemulihan. Saya juga tidak pusing menyiapkan permainan karena A2 belum aktif bermain. Alhamdulillah karena pernah menjalani pengalaman khitan A1, kami relatif lebih santai menyiapkan urusan ini.

Baca: Khitan A1

Kami memilih klinik yang sama, yaitu VATAN Sünnet Praxis untuk khitan A2. Qadarullah karena pandemi, kami baru mendapatkan janji temu ketika A2 berusia 3 bulan. Tidak apa-apa, khair insyaallah. Masa tunggu ini kami manfaatkan untuk adaptasi newborn dan sibling harmony. Masa-masa ini cukup menantang bagi saya, apalagi benar-benar dijalani berempat saja tanpa bantuan dari kerabat atau keluarga.

Menjelang janji temu yang disepakati, qadarullah ternyata berdekatan dengan jadwal imunisasi dan membuat paspor A2. Setelah dipertimbangkan, akhirnya kami memilih menunda jadwal khitan agar A2 tidak kaget dan stres. Pasca imunisasi biasanya ada reaksi di badan, tentu akan membuat kurang nyaman. Plus beberapa hari setelahnya kami harus melakukan perjalanan ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Frankfurt dengan waktu perjalanan 6 jam pulang-pergi, tentu akan membuat anak-anak sangat lelah. Agar sama-sama nyaman akhirnya diputuskan meminta jadwal baru untuk khitan.

Alhamdulillah kami mendapatkan jadwal dua minggu setelahnya di waktu siang hari. Sebenarnya waktu ini termasuk waktu darurat karena bertepatan jam tidur A1 dan A2. Waktu tidur termasuk waktu yang tidak bisa diganggu menurut kami. Karena kalau tidak sesuai jadwal, anak-anak akan cranky hingga malam hari. Tapi daripada mundur lebih jauh apalagi masih masa pandemi, akhirnya kami terima dan berdoa semoga di waktu tersebut anak-anak dapat dikondisikan.

Seperti sebelumnya, kami mendapatkan surat cinta dari klinik untuk persiapan apa saja yang dibutuhkan seminggu sebelum janji temu. Ternyata masih persis sama dengan pengalaman A1 dulu, jadi kami lebih terbayang dan dapat memperkirakan proses khitan. Alhamdulillah lebih tenang rasanya.

Di hari H, karena kami sudah pindah rumah dan di beda kota, perjalanan yang ditempuh menjadi lebih lama. Saat berangkat kami memilih opsi rute dengan bus dan U-Bahn. Waktu yang dibutuhkan hingga sampai lokasi sekitar 50 menit. Sebenarnya ada opsi lebih cepat, namun kami memilih rute ini karena sudah berjanji kepada A1 untuk naik bus. Saat itu A1 sedang cinta-cintanya dengan bus. Tak apalah meskipun lebih repot, ini sebagai reward untuknya karena nanti dia akan belajar sabar menunggu adiknya.

Sesampainya di klinik, ternyata sangat ramai dan antri, berbeda keadaannya dibandingkan A1 dulu. Saat A1 khitan, kondisi klinik sepi jadi waktu menunggu giliran lebih cepat. Mungkin karena A1 dulu pagi hari sedangkan A2 sekarang siang hari. Mungkin juga karena saat itu menuju new normal, sehingga antrian menumpuk dari pandemi. Kami menunggu hampir 45 menit untuk dipanggil, hingga akhirnya masuk ke ruang tindakan.

Di ruang tindakan tersebut ternyata kami perlu menunggu lagi. Karena cukup lama menunggu sejak datang di klinik, A1 dan A2 sampai tertidur. Alhamdulillah pikir saya, setidaknya nanti saat proses khitan, dua-duanya tidak terlalu cranky karena sempat istirahat.

Setelah 30 menit menunggu, akhirnya ada dokter yang menyapa kami. Kami dijelaskan prosedur khitan seperti sebelumnya. Bedanya karena A2 masih berusia 3 bulan, A2 tidak diberikan bius yang disemprot ke hidung (Nasenspray). A2 cukup diberikan bius berupa salep dan injeksi suntik ke penisnya. Saat penyuluhan ini A1 dan A2 alhamdulillah sudah bangun.

Kami diminta untuk pindah ke ruangan tindakan yang lain. Di ruang tersebut sudah dinyalakan lampu warna warni sehingga A2 langsung tertarik melihat atap. Dokter meminta saya menunggu di luar ruangan dengan A1, agar A1 yang sudah cukup besar tidak ketakutan melihat proses khitan. A2 hanya bersama ayahnya yang nanti memegang tubuh A2 dan menenangkannya. Jadi di khitan A2 ini tidak bisa saya rekam seperti khitan A1 dulu.

Di luar ruangan, saya mendengar tangisan A2 cukup keras. Huhu, rasanya tidak tega ternyata ya saat mendengar tangisan anak tanpa kita tahu terjadi apa di dalam sana. Saya cukup cemas menunggu proses khitan A2 sambil menjawab pertanyaan A1,

“Kenapa A2 nangis? Kapan selesainya?”

Dan seterusnya.

Saya mengajak A1 berdoa bersama-sama agar proses khitan lancar.

Setelah 15 menit, akhirnya pintu terbuka. A2 terlihat sudah berpakaian lengkap dan masih menangis keras, sehingga saya langsung menyusuinya agar lebih tenang. Saya kagok memegang A2 karena khawatir lukanya terkena tubuh saya.

Kami pun segera pulang ke rumah karena perjalanan masih jauh. Untuk pulang, kami mengambil rute menggunakan Regional Express (kereta antar kota) agar lebih cepat. Total waktu perjalanan 30 menit beserta jalan kaki yang super duper cepat. Alhamdulillah kami sampai tepat waktu. A2 masih bisa terkondisikan sampai rumah. Jika ada apa-apa, setidaknya kami sudah sampai rumah. Beban stresnya sudah terangkat 75%.

Proses pemulihan luka khitan A2 tidak jauh berbeda dengan kakaknya, seperti berendam di air, mengangin-anginkan luka, dan sebagainya. Malah lebih tidak repot karena kami tidak harus menyiapkan aktivitas macam-macam. Sebaliknya, saya menghilangkan aktivitas rutin tummy time hingga seminggu karena khawatir dengan lukanya. Ketika pemulihan ini, A2 jadi lebih banyak menyusu. Mungkin untuk mencari kenyamanan atas rasa sakit yang ia alami.

Dari pengalaman keduanya saya mengambil kesimpulan, semakin kecil anak, proses yang dilalui untuk khitan semakin mudah. Pemulihan luka plus beban mental ibu rasanya lebih ringan. Selain luka sembuh lebih cepat, cara menenangkan ketidaknyamanan lebih banyak bergantung dari proses menyusui. Tidak terlalu khawatir dengan aktivitas fisiknya karena bayi belum banyak bergerak.

Alhamdulillah, atas kemudahan dari Allah, kami sudah menjalankan salah satu kewajiban orang tua terhadap kedua anak laki-laki kami. Rasanya lega, satu beban sudah terangkat. Fokus pengasuhan dan pendidikan kami jadi lebih mengerucut, yaitu menyiapkan pendidikan menuju tamyiz dan aqil baligh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *