Writing

Merindu

Sumber: Unsplash

Aku menatap gawaiku dengan sendu. Akhir-akhir ini putriku sulit dihubungi. Aku rindu dengan ketiga cucuku. Tidak, lebih tepatnya aku sangat ingin mendengar suara putriku. Putri satu-satunya yang kumiliki.

Ia permata hatiku. Sejak kecil tidak pernah lepas dariku. Bukan karena ia manja, tapi aku yang tak tega untuk meninggalkannya. Putriku rapuh, ia sering sakit dan membuatku khawatir. Seakan tiada hari baginya untuk sekedar tersenyum ceria. Ia disibukkan dengan rasa sakit yang ada di badannya.

Sepuluh tahun lalu aku memutuskan hal besar yang hingga saat ini kusesali. Putriku meminta izin untuk melanjutkan kuliah jauh di luar kota. Kota yang hingga saat itu belum pernah kukunjungi. Jakarta.

“Nduk, kamu yakin? Apa ndak ada kampus lain yang cocok di sini? Kan jurusannya ada yang sama, tho?” tanyaku kepadanya.

Dengan mata berbinar ia memandangku, “Ndak, Bu. Lili ingin lihat Jakarta. Di calon kampus Lili nanti ada banyak beasiswa, tenang saja, Bu.”

Aku menghela nafas. Bukan masalah biaya, karena aku pasti akan mengusahakannya. Tapi aku takut. Aku takut ia lupa dan meninggalkanku sendirian di sini. Padahal ia satu-satunya yang kumiliki.

Tapi aku tidak tega melihat binar matanya. Sejak dulu aku jarang melihat pancaran bahagianya. Aku ingin dia bahagia. Aku ingin ia tersenyum ceria. Hingga akhirnya aku mengizinkannya untuk pergi ke ibukota.

Empat tahun sudah ia lulus dari kampus itu, ia lulus dengan nilai yang sangat membanggakan. Aku tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah, selama ini perjuanganku tidak sia-sia. Ia naik ke podium kampus dengan percaya diri. Aku melihatnya sangat bersinar. Aku bangga kepadanya.

Seminggu kemudian, putriku menghadapku.

“Bu, ada laki-laki yang ingin main ke rumah. Lili belum kenal dengannya tapi kata Ustadz dan teman-teman ia baik dan shalih. Apakah boleh, Bu?”

Dheg! Apa lagi ini. Belum juga aku lega karena putriku kembali menemaniku di rumah, tiba-tiba ada seorang lelaki yang ingin berkenalan dengannya. Aku betul-betul meragu. Tapi saat kulihat raut muka putriku, ia terlihat tersipu malu. Akankah aku mengizinkannya sekali lagi?

“Yowes, Nduk. Suruh ke sini saja.”

Hingga kemudian apa yang kutakutkan kembali terjadi. Pemuda baik itu akhirnya meminang putriku dan membawanya ke benua seberang. Benua yang selama ini aku hanya dengar dari televisi bututku. Sangat jauh dari jangkauan.

Aku berpikir, apakah memang putriku ingin berjauhan dariku? Apakah aku sudah tidak layak menemaninya? Dulu ia kutemani kemana-mana, mengapa sekarang ia seakan ingin lepas dariku?

[Ibu, maaf, baru kasih kabar. Hari ini ada acara kumpul-kumpul di rumah Lili jadi Lili sulit memegang handphone. Alhamdulillah ini sudah selesai tapi anak-anak sedang tidur. Insyaallah nanti Lili telpon ya, Bu, kalau anak-anak udah bangun.]

Getar gawaiku menghentikanku dari segala asumsiku. Aku lega. Ternyata bukan karena ia mengabaikanku. Ia hanya sedang kerepotan di sana.

Aku yakin putriku tidak akan berbuat seperti itu. Aku kenal dengannya sejak kecil, ia bukan anak yang menyusahkan. Ia anak yang baik, suaminya pun begitu.

Semoga Allah menjaganya selalu, karena rengkuhan tanganku tak akan sampai kepadanya.

© Amatullah | 14 Maret 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *